Pages

Minggu, 21 September 2014

Penatalaksanaan Konstipasi

Pada prinsipnya untuk merawat penderita konstipasi ialah:
  1. Harus dicari penyebab konstipasinya
  2. Memberikan edukasi kepada penderita agar dapat melakukan defekasi secara alamiah
  3. Menghentikan kebiasaan pemakaian laksativ dan enema
  4. Mengebalikan dan membiasakan agar dapat defekasi sendiri tanpa menggunakan obat-obatan.
Oleh karena itu perawatan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus dicari sebabnya. Memberi penerangan kepada penderita, agar supaya teratur pada waktu-waktu yang tertentu melakukan defekasi.
  • Senam, perlu sekali dianjurkan untuk melakukan senam perut untuk memperkuat dinding perut. Senam ini terutama perlu sekali dianjurkan kepada penderita dengan atoni pada otot perut. Sebaiknya melakukan senam sehari 2 kali.
  • Diet, pengaturan diet perlu sekali, dianjurkan makan makanan yang mengandung banyak sayur-sayuran, buah-buahan yang banyak mengandung selulosa. Selulosa yang dimakan susah dicerna sebab didalam badan kita tak mempunyai enzim selulosa. Jadi selulosa berguna untuk memperlancar defekasi. Dianjurkan minum yang banyak, sekurang-kurangnya 1 liter sehari. Minum susu tiap hari adalah baik. Dilarang makan makanan yang menyebabkan timbulnya konstipasi misalnya pala, salak, tepung beras, kue-kue.
  • Obat-obatan, pada orang yang menderita konstipasi lebih dari 3 hari, pertama-tama harus dilakukan lavement, dapat dicoba dulu dengan memberikan glycerin yang dihangatkan. Atau dapat diberikan dulcolax suppositoria yang biasanya kurang mengadakan iritasi terhadap mukosa rektum. Cara ini sering dianjurkan terhadap penderita yang lama istirahat di tempat tidur. Pada penderita konstipasi yang disebabkan oleh dyschezia, dapat diberikan obat-obatan sampai proses defekasi tidak terganggu. Tapi yang terpenting ialah dianjurkan melakukan senam perut dan memberikan diit.

Obat-obatan yang berupa :
a. Synthetic bulging (swelling) agents. Yang dapat menghasilkan selulosa. Sebagian obat-obatan menimbulkan peristaltik. Sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan. Termasuk golongan ini ialah: konsyl, metamucil, mucilosa, plancello, calogal, stolus.

b. Obat-obatan yang bersifat melembekkan (stool softners). Pada penderita-penderita dengan penyakit anal, striktur pada rektum atau anus, biasanya tinjanya keras. Oleh karena itu dapat dicoba dengan obat yang bersifat melembekkan tinja, misalnya: colase, doximate, aguatyl, Dio medicone.

Sumber:
Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi. Bandung: Alumni.

Rabu, 17 September 2014

Sindrom Crigler-Najjar -- Defisiensi Glukuronil Transferase Tipe II

A. Pengertian

Sindrom Crigler-Najjar adalah hasil dari mutasi satu dari lima ekson dari kode genetic pada enzim bilirubin-UDP-Glucuronosyl transferase 1. Sindrom ini pertama kali diketahui oleh Crigler dan Najjar (1952) dalam laporan mereka dari enam bayi dari tiga keluarga kandung dengan beberapa jaundice non-hemolitik tidak terkonjugasi. Arias et al, membagi penyakit ini menjadi dua tipe (1 dan 2) berdasarkan respon dari serum bilirubin untuk terapi fenoarbital. Bagaimanapun perbedaan klinis kedua tipe dapat menjadi sulit, terutama pada awal kelahiran bayi.

Penyakit autosom dominan ini dengan berbagai penetrans yang mencolok bisa muncul pada cara yang sama dengan sindrom tipe I, atau mungkin gangguan kurang berat, kadang-kadang bahkan tanpa manifestasi neonatus.

  • Sindrom Crigler Najjar Tipe I


Tipe ini berbentuk lebih serius, dengan beberapa jaundice di beberapa hari pertama kehidupan dan potensi risiko berdasarkan kernikterus di awal kelahiran. Heterozigot secara fenotipe normal dengan serum bilirubin normal.

  • Sindrom Crigler Najjar Tipe II


Meskipun pada beberapa jaundice dengan sangat tingginya kadar serum bilirubin tak terkonjugasi, ini tidak menunjukkan bukti adanya hemolisis atau penyakit hati. Apabila gangguan ini muncul pada masa neonatus, biasanya ada hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi selama usia 3 hari pertama; kadar bilirubin serum mungkin dalam rentangan yang sesuai dengan ikterus fisiologis atau mungkin pada kadar pathologis. Ciri-cirinya, kadar tetap meninggi pada dan setelah usia minggu ke-3, menetap pada rentangan 1,5-22 mg/dL; kadar bawah rentangan ini bisa menyebabkan ketidakjelasan apakah bilirubinemia kronis memang ada. Kernikterus adalah sindrom neurologik hasil dari deposisi dari bilirubin tak terkonjugasi di basal ganglia dan nukleus batang otak. Ini merupakan komplikasi umum dari CN tipe I dan yang pertama ditandai di awal masa neonatal. Gejala termasuk lethargi, susah menelan, kehilangan reflex Moro, kesulitan bernapas, opistotonus, kurang refleks tendon, konvulsi dan kram. Pengobatan dengan pertukaran transfusi dan fototerapi harus diberikan secara intensif pada tahap awal untuk memastikan kadar yang relative aman dari bilirubin tak terkonjugasi untuk mencegah pengembangan kernikterus.  Warna tinja normal, dan bayi tanpa tanda atau gejala klinis penyakit. Biasanya terdapat riwayat keluarga atau kemiripan pada saudara.


B. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini, biasanya dilihat dari riwayat keluarga pasien, beberapa jaundice tanpa hemolisis, atau melalui tanda-tanda penyakit hati. Riwayat dari pertukaran transfusi di indeks kasus dan /atau saudara lain dapat ditambahkan untuk menegakkan diagnosis ini. Biasanya fungsi hati normal. Kadar bilirubin empedu mendekati normal pada sindrom tipe II.

C. Pengobatan

Bayi dan anak kecil (muda) dengan ikterus yang sedang menderita sindrom tipe II berespons dengan cepat terhadap 5 mg/kg/24 jam fenoarbital oral dengan menurunkan kadar bilirubin serum menjadi 2-3 mg/dL dalam 7-10 hari. Pengobatan ini tidak direspons oleh penderita dengan tipe I. Transfusi mungkin diperlukan pada Neonatus dengan sindrom CN tipe 1 untuk memastikan kadar bilirubin tak terkonjugasi aman walaupun melanjutkan foto terapi hingga 18 jam/hari. Selanjutnya, anak mungkin tetap melakukan fototerapi selama beberapa jam. Cholestyramin oral mungkin ditambahkan di terapi untuk mengikat bilirubin di usus.

Transplantasi hati adalah satu-satunya terapi yang menjamin keselamatan anak dari kernikterus. Ini lebih baik dilakukan pada pasien muda dengan sindrom CN tipe I dengan manifestasi neurologic.

Sumber:
Aziz, abdel, dkk. 2012 . Textbook of Clinical Pediatrics Second Edition. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Behrman, Kliegman & Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. II Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.