Pages

Minggu, 07 Desember 2014

Otitis Media Supurativa Kronis (OMSK)

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media perforate (OMP) atau dalam sebutan sehari-hari disebut dengan congek. Yang disebut otitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis telinga tengah dengan perforasi membrane timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.


Perjalanan penyakit

Otitis media akut dengan perforasi membrane timpani menjadi otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan, disebut dengan otitis media supuratif subakut. Perubahan dari akut menjadi kronis ini bisa dikarenakan terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau hygiene buruk.


Letak Perforasi

Letak perforasi di membrane timpani penting untuk menentukan tipe/ jenis OMSK. Perforasi membrane timpani dapat ditemukan di daerah sentral, marginal atau atik. Oleh karena itu disebut perforasi sentral, marginal atau atik.

Pada perforasis sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi masih ada sisa membran timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan annulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik adalah perforasi yang terletak di pars flaksida.


Jenis OMSK

Dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu (1) OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe banigna) dan (2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna).

Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpaninya terlihat basah atau kering.

Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma.

Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai dengan kolestetoma. OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya letaknya marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya.


DIAGNOSIS

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometric tutur (speech audimetry) dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometry) bagi pasien/anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiiometri nada murni.

Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga.


TANDA KLINIS OMSK TIPE BAHAYA

Mengingat OMSK tipe bahaya seringkali menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu ditegakkan diagnosis dini. Walaupun diagnosis pasti baru dapat ditegakkan di kamar operasi, namun beberapa tanda klinik dapat menjadi pedoman akan adanya OMSK tipe bahaya, yaitu perforasi pada marginal atau pada atik. Tanda ini biasanya merupakan tanda dini dari OMSK tipe bahaya, sedangkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terlihat; abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga), polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah, terlihat kolesteatoma pada telinga tengah, (sering terlihat di epitimpanium), sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma) atau terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.


TATALAKSANA

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu:
1.) Adanya perforasi membrane timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar
2.) Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal
3.) Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid, dan
4.) Gizi dan higiena yang kurang.

Prinsip terapi OMSK tipe aman ialah terapi konservatif atau dengan medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Banyak ahli berpendapat bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung antibiotik yang bersifat ototoksik. Oleh sebab itu sebaiknya agar obat tetes telinga jangan diberikan  terus menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotik dari golongan ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai  karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat.

Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah di observasi selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membrane timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat serta memperbaiki pendengaran.

Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu, mungkin juga perlu melakukan pembedahan misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi.

Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukannya pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi.

Sumber:

Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Senin, 17 November 2014

Dermatofitosis (Tinea / Kurap)

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yan disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Nama lain dari dermatofitosis adalah tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata. Penyebab dari dermatofitosis adalah golongan jamur dermatofita yang mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.

Klasifikasi
Pembagian yang lebih praktis adalah berdasarkan lokasi tubuh yang terserang jamur. Dengan demikian dikenal bentuk-bentuk:
  • Tinea kapitis, menyerang kulit dan rambut kepala.
  • Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
  • Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
  • Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
  • Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.
  • Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk tinea diatas.
Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu:
  • Tinea imbrikata, dengan susunan skuama yang konsentris dan disebabkan Trichophyton concetricum.
  • Tinea favosa atau favus, disebabkan oleh Trichophyton schoenleini yang seccara klinisnya berbentuk skutula dan berbau seperti tikus.
  • Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukan daerah kelainan.
  • Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis.
Istilah diatas dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis.

Gejala klinis
Tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi khas. Penderita merasa gatal, kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorfi). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. Echzema marginatum adalah istilah yang tepat untuk lesi dermatofitosis secara deskriptif.

Dibawah ini merupakan bentuk-bentuk klinis dari dermatofitosis berdasarkan lokalisasinya:

A. Tinea pedis (Athlete’s foot, kutu air)

Tinea pedis ialah dermatofitosis pada kaki terutama pada sela-sela jari kaki dan telapak kaki.
  1. Bentuk interdigitalis adalah yang paling sering terlihat. Diantara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga tejadi selulitis, limfanitis, limfadenitis, dan dapat pula terjadi erysipelas yang disertai gejala-gejala umum.
  2. Bentuk lain ialah disebut moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi, hingga punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.
  3. Pada bentuk subakut terlihat vesiko-pustul dan kadang-kadang bula.Kelainan ini dapatmulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koloret. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemukannya sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa secara sediaan lansung atau dibiak.
Tinea pedis banyak terjadi pada orang yang sering menggunakan sepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki selalu atau sering basah. Tinea manum adalah dermatofitosis pada tangan. Semua bentuk yang dilihat di kaki dapat terjadi pula pada tangan.

B. Tinea unguium 
Tinea ungium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita. ZAIAS membaginya menjadi 3 bentuk klinis (1972):
  1. Bentuk subungual distalis, mulai dari tepi distal atau distolateral kuku menjalar ke proksimal dam dibawah kuku terbentuk sisa kuku rapuh. Kalau proses berjalan terus, permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.
  2. Leukonikia trikofita, berbentuk leukonikia atau keputihan di permukaan kutu yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur.
  3. Bentuk subungual proksimalis, bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan di bagian proksimal telah rusak.

C. Tinea kruris
Tinea kruris adalah ermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat menjadi penyakit yang berlansung seumur hidup. Lesi kulit dapat berbatas tegas pada daerah genitor-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Bila penyakit ini menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. 

D. Tinea korporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut. Lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Derah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadng-kdang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Pada tine korporis yan menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha.


E. Tinea capitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut kerion. Dalam klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas.

  1. Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum dan sering ditemukan di anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil disekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga menyebabkan alopesia setempat. Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch. Pada pemeriksaan dengan menggunakan lampu Wood dapat terlihat fluoresensi hijau kekuningan pada rambut yang sakit.
  2. Kerion adalah reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang padat disekitarnya. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap.
  3. Black dot ringworm terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan T. violaceum. Rambut yang terkena infeksi patah dan tepat pada muara folikel dan tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam didalam folikel rambut ini member gambaran khas, yaitu black dot.
Sumber:
2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Minggu, 16 November 2014

Fisiologi Kulit

Fungsi utama kulit ialah proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh, pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi.

Fungsi Kulit
1.     Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis, misalya tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi, misalnya zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, contohnya lisol, karbol, asam dan alkali uat lainnya; gangguan yang bersifat panas, misalnya radiasi, sengatan sinar ultra violet; gangguan infeksi luar terutama kuman/ bakteri maupun jamur. Hal ini dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang yang peranan sebagai pelindungg terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperanan dalam melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari dengan mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeable terhadap pelbagai zat kimia dan air, disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit ini mungkin terbentuk dari hasil ekskresi keringat dan sebum, keasaman kulit menyebabkan pH kulit berkisar pada pH 5  - 6.5 sehingga merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur. Proses keratinisasi juga berperan sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel-sel mati melepaskan diri secara teratur.
2.   Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolism dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antara sel, menembus sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar, tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.
3.     Fungsi ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat tidak berguna lagi atau sisa metabolism dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan ammonia. Kelenjar lemak pada fetus atas pengaruh hormone androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya terhadap cairan amnion, pada waktu lahir dijumpai sebagai vernix caseosa. Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan sebum ini selain meminyaki kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 - 6.5.
4.  Fungsi persepsi, kulit mengandun ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil Meissner terletak di papilla dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah yan erotik.
5.  Fungsi pengaturan suhu (termoregulasi), kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan kerinat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang cukup baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi biasanya dinding pembuluh darah belum terbentuk sempurna, sehingga terjadi ekstravasasi cairan, karena itu kulit bayi tampak lebih edematosa karena lebih banyak mengandung air dan Na.
6.   Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal: melanosit adalah 10 : 1. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu. Pada pulasan H.E, sel ini jernih berbentuk bulat dan merupakan sel dendrite, disebut pula sebagai clear cell. Melanosom dibentuk oleh alat Golgi dengan bantuan enzim tirosinase, ion Cu dan O2. Pajanan terhadap sinar matahari mempengaruhi produksi melanosom. Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan-tangan dendrite sedangkan ke lapisan kulit di bawahnya dibawa oleh sel melanofag (melanofor). Warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb, oksi Hb dan karoten.
7.  Fungsi keratinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama yaitu keratinosit, sel Langerhans, melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin keatas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus menerus seumur hidup, dan sampai sekarang belum sepenuhnya dimengerti.
8.       Fungsi pembentukan vitamin D, dimungkinkan dengan menubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan tubuh akan vtamin D tidak cukup hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.

Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot-otot dibawah kulit.

Sumber :
2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.


Minggu, 21 September 2014

Penatalaksanaan Konstipasi

Pada prinsipnya untuk merawat penderita konstipasi ialah:
  1. Harus dicari penyebab konstipasinya
  2. Memberikan edukasi kepada penderita agar dapat melakukan defekasi secara alamiah
  3. Menghentikan kebiasaan pemakaian laksativ dan enema
  4. Mengebalikan dan membiasakan agar dapat defekasi sendiri tanpa menggunakan obat-obatan.
Oleh karena itu perawatan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus dicari sebabnya. Memberi penerangan kepada penderita, agar supaya teratur pada waktu-waktu yang tertentu melakukan defekasi.
  • Senam, perlu sekali dianjurkan untuk melakukan senam perut untuk memperkuat dinding perut. Senam ini terutama perlu sekali dianjurkan kepada penderita dengan atoni pada otot perut. Sebaiknya melakukan senam sehari 2 kali.
  • Diet, pengaturan diet perlu sekali, dianjurkan makan makanan yang mengandung banyak sayur-sayuran, buah-buahan yang banyak mengandung selulosa. Selulosa yang dimakan susah dicerna sebab didalam badan kita tak mempunyai enzim selulosa. Jadi selulosa berguna untuk memperlancar defekasi. Dianjurkan minum yang banyak, sekurang-kurangnya 1 liter sehari. Minum susu tiap hari adalah baik. Dilarang makan makanan yang menyebabkan timbulnya konstipasi misalnya pala, salak, tepung beras, kue-kue.
  • Obat-obatan, pada orang yang menderita konstipasi lebih dari 3 hari, pertama-tama harus dilakukan lavement, dapat dicoba dulu dengan memberikan glycerin yang dihangatkan. Atau dapat diberikan dulcolax suppositoria yang biasanya kurang mengadakan iritasi terhadap mukosa rektum. Cara ini sering dianjurkan terhadap penderita yang lama istirahat di tempat tidur. Pada penderita konstipasi yang disebabkan oleh dyschezia, dapat diberikan obat-obatan sampai proses defekasi tidak terganggu. Tapi yang terpenting ialah dianjurkan melakukan senam perut dan memberikan diit.

Obat-obatan yang berupa :
a. Synthetic bulging (swelling) agents. Yang dapat menghasilkan selulosa. Sebagian obat-obatan menimbulkan peristaltik. Sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan. Termasuk golongan ini ialah: konsyl, metamucil, mucilosa, plancello, calogal, stolus.

b. Obat-obatan yang bersifat melembekkan (stool softners). Pada penderita-penderita dengan penyakit anal, striktur pada rektum atau anus, biasanya tinjanya keras. Oleh karena itu dapat dicoba dengan obat yang bersifat melembekkan tinja, misalnya: colase, doximate, aguatyl, Dio medicone.

Sumber:
Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi. Bandung: Alumni.

Rabu, 17 September 2014

Sindrom Crigler-Najjar -- Defisiensi Glukuronil Transferase Tipe II

A. Pengertian

Sindrom Crigler-Najjar adalah hasil dari mutasi satu dari lima ekson dari kode genetic pada enzim bilirubin-UDP-Glucuronosyl transferase 1. Sindrom ini pertama kali diketahui oleh Crigler dan Najjar (1952) dalam laporan mereka dari enam bayi dari tiga keluarga kandung dengan beberapa jaundice non-hemolitik tidak terkonjugasi. Arias et al, membagi penyakit ini menjadi dua tipe (1 dan 2) berdasarkan respon dari serum bilirubin untuk terapi fenoarbital. Bagaimanapun perbedaan klinis kedua tipe dapat menjadi sulit, terutama pada awal kelahiran bayi.

Penyakit autosom dominan ini dengan berbagai penetrans yang mencolok bisa muncul pada cara yang sama dengan sindrom tipe I, atau mungkin gangguan kurang berat, kadang-kadang bahkan tanpa manifestasi neonatus.

  • Sindrom Crigler Najjar Tipe I


Tipe ini berbentuk lebih serius, dengan beberapa jaundice di beberapa hari pertama kehidupan dan potensi risiko berdasarkan kernikterus di awal kelahiran. Heterozigot secara fenotipe normal dengan serum bilirubin normal.

  • Sindrom Crigler Najjar Tipe II


Meskipun pada beberapa jaundice dengan sangat tingginya kadar serum bilirubin tak terkonjugasi, ini tidak menunjukkan bukti adanya hemolisis atau penyakit hati. Apabila gangguan ini muncul pada masa neonatus, biasanya ada hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi selama usia 3 hari pertama; kadar bilirubin serum mungkin dalam rentangan yang sesuai dengan ikterus fisiologis atau mungkin pada kadar pathologis. Ciri-cirinya, kadar tetap meninggi pada dan setelah usia minggu ke-3, menetap pada rentangan 1,5-22 mg/dL; kadar bawah rentangan ini bisa menyebabkan ketidakjelasan apakah bilirubinemia kronis memang ada. Kernikterus adalah sindrom neurologik hasil dari deposisi dari bilirubin tak terkonjugasi di basal ganglia dan nukleus batang otak. Ini merupakan komplikasi umum dari CN tipe I dan yang pertama ditandai di awal masa neonatal. Gejala termasuk lethargi, susah menelan, kehilangan reflex Moro, kesulitan bernapas, opistotonus, kurang refleks tendon, konvulsi dan kram. Pengobatan dengan pertukaran transfusi dan fototerapi harus diberikan secara intensif pada tahap awal untuk memastikan kadar yang relative aman dari bilirubin tak terkonjugasi untuk mencegah pengembangan kernikterus.  Warna tinja normal, dan bayi tanpa tanda atau gejala klinis penyakit. Biasanya terdapat riwayat keluarga atau kemiripan pada saudara.


B. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini, biasanya dilihat dari riwayat keluarga pasien, beberapa jaundice tanpa hemolisis, atau melalui tanda-tanda penyakit hati. Riwayat dari pertukaran transfusi di indeks kasus dan /atau saudara lain dapat ditambahkan untuk menegakkan diagnosis ini. Biasanya fungsi hati normal. Kadar bilirubin empedu mendekati normal pada sindrom tipe II.

C. Pengobatan

Bayi dan anak kecil (muda) dengan ikterus yang sedang menderita sindrom tipe II berespons dengan cepat terhadap 5 mg/kg/24 jam fenoarbital oral dengan menurunkan kadar bilirubin serum menjadi 2-3 mg/dL dalam 7-10 hari. Pengobatan ini tidak direspons oleh penderita dengan tipe I. Transfusi mungkin diperlukan pada Neonatus dengan sindrom CN tipe 1 untuk memastikan kadar bilirubin tak terkonjugasi aman walaupun melanjutkan foto terapi hingga 18 jam/hari. Selanjutnya, anak mungkin tetap melakukan fototerapi selama beberapa jam. Cholestyramin oral mungkin ditambahkan di terapi untuk mengikat bilirubin di usus.

Transplantasi hati adalah satu-satunya terapi yang menjamin keselamatan anak dari kernikterus. Ini lebih baik dilakukan pada pasien muda dengan sindrom CN tipe I dengan manifestasi neurologic.

Sumber:
Aziz, abdel, dkk. 2012 . Textbook of Clinical Pediatrics Second Edition. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Behrman, Kliegman & Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. II Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Infark Miokard

GEJALA DAN TANDA
  • Nyeri Dada > 20 menit menjalar ke dada, bahu, rahang, lengan, punggung. Nyeri tidak hilang walau istirahat atau diberi Nitrat (obat untuk Angina Pectoris)
  • Sesak Napas
  • Sinkop (Pingsan)
  • Tekanan Darah (), dapat menyebabkan hipotensi berat juga
  • Syok Kardiogenik
- Akral dingin & ekstrimitas basah
- Bradikardi

- Tekanan Darah ()
  • Aritmia

PEMERIKSAAN FISIK
  • Rantai jugular normal atau sedikit naik
  • Bunyi jantung 1 dan 2 terdengar lemah
  • Terdengar bunyi jantung 4
  • Bunyi jantung 3 apabila mengalami Gagal Jantung
  • Terdengar bunyi bising pansistolik
Mekanisme Bising Pansistolik Dilatasi ventrikel kiri àDisfungsi m. papilaris à Regurgitasi katup mitral à Bising Pansistolik
  • Terdengar bunyi krepitasi yang cukup luas pada auskultasi merupakan tanda adanya Edema Paru
  • Demam < 38 oC (akan turun dalam beberapa hari)

EKG
  • Q Besar à nekrosis jaringan
  • Elevasi segmen ST à kerusakan otot
  • Inversi T à Iskemia


LAB
  • (↑) Leukosit
  • (↑) LED
  • (↑) CKMB
  • (↑) SGOT
  • (↑) LDH
3 Tanda Infark Miokard menurut WHO:
  1. Nyeri Dada khas
  2. Lab : enzim jantung (↑) > 1,5x normal
  3. EKG khas

KOMPLIKASI
  • (95%) Gangguan irama dan konduksi
  • Banyak mengalami sinus takikardi, hal ini menunjukkan beratnya penyakit
  • Banyak mengalami sinus bradikardi
  • Atrial Takikardi (15%)
  • Atrial Fibrilasi (15%)
  • Blok Jantung (5%)
  • Gagal Jantung
  • Emboli Paru

PENATALAKSANAAN
Pra-RS:
  • Morfin (Penghilang nyeri) 2,5-5 mg atau Petidine 25-50 mg I.V. (Efek samping: Bradikardi, Hipotensi, tidak begitu baik terhadap manula dan penderita asma)
  • Diazepam 5-10 mg
  • Infus dextrose 5% atau NaCl 0,9%
  • Oksigen nasal
Perawatan RS
  • EKG
  • Infus dextrose 5% atau NaCl 0,9%
  • Oksigen nasal 2-4 liter/menit
  • Pemeriksaan darah rutin, gula darah, BUN, Kreatinin, CK, CKMB, SGPT, LDH, dan elektrolit (K+ serum!!)
  • Pemeriksaan pembekuan saat akan diberi trombolisis: Trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, PT dan APTT
  • Foto Rontgen thoraks
  • Nitrat sublingual / transdermal untuk penderita Angina
  • Nitrat I.V. untuk iskemik berulang/ berkepanjangan
  • Bila masih terasa sakit berikan Morfin Sulfat I.V 2,5 mg dapat diulangi tiap 5-30 menit atau berikan Petidine HCl 25-50 mg I.V dapat diulangi 5-30 menit hingga sakit hilang
  • Bila takut/ gelisah berikan Diazepam 5 mg/oral atau I.V
  • Pantau irama jantung sampai stabil
  • Ulangi EKG setiap hari selama 72 jam
  • Puasa 8 jam pertama, makanan lunak/cair 24 jam, lanjutkan makanan lunak
  • Beri Laksansia untuk cegah konstipasi
  • Aspirin 160 mg dikunyah (sebelum diberi Trombolisis)
  • Trombolisis:
- Streptokinase dosis 1,5juta IU dalam 100 cc NaCl 0,9% infus selama 1 jam. (Efek samping: Alergi, Hipotensi oleh karena dilatasi pembuluh darah)- r-TPA dosis 100 mg dalam 3 jam awal, 10 mg secara bolus IV, lalu 50 mg dalam 1 jam dan sisanya 2 jam berikutnya. (Efek samping : (↑) penyulit perdarahan otak)

Syarat pemberian trombolisis:
  1. Penderita infark miokard akut,
  2. < 70 tahun
  3. Nyeri dada 12 jam
  4. Elevasi ST > 1 mm di minimal 2 sadapan
Diberi < 6 jam pada IMAà r-TPA! mengurangi 40 % kematian

Jumat, 29 Agustus 2014

Sistem Konduksi


SA Node
"Mengatur ritme dan mempertahankan kecepatan depolarisasi,"
Lokasi : sudut kanan atas atrium kanan (dekat vena cava superior)
SA node à ke atrium à kanan à kiri à AV Node

AV Node
"Memberi kesempatan atrium mengisi ventrikel"
Lokasi : dekat septum interatrial bagian bawah, diatas sinus koronarius, dibelakang katup trikuspid

Kamis, 01 Mei 2014

Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Apendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi. Apendisitis dapat terjadi pada semau usia, namun mayoritas terjadi pada remaja dan dewasa muda. Patogenesis utamanya diduga karena adanya obstruksi lumen yang biasanya disebabkan oleh fekalit (feses keras yang disebabkan oleh serat). Penyumbatan pengeluaran sekret mukus mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi. Peningkatan tekanan intraluminal dapat menyebabkan terjadinya oklusi arteria terminalis (end-artery) apendikularis. Bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, biasanya mengakibatkan nekrosis, gangren, dan perforasi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa ulserasi mukosa berjumlah sekitar 60 hingga 70% kasus, lebih sering daripada sumbatan lumen. Penyebab ulserasi tidak diketahui, walaupun sampai sekarang diperkirakan disebabkan oleh virus. Akhir-akhir ini penyebab infeksi yang paling diperkirakan adalah Yersinia enterocolitica.

Gambaran Klinis
Pada kasus apendisitis akut klasik, gejala awal adalah nyeri atau rasa tidak enak disekitas umbilikus. Gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dengan disertai oleh anoreksia, mual, dan muntah. Dapat juga terjadi nyeri tekan di sekitar titik McBurney. Kemudian, dapat timbul spasme otot dan nyeri tekan lepas. Biasanya ditemukan demam ringan dan leukositosis sedang. Apabila terjadi ruptur apendiks, tanda perforasi dapat berupa nyeri, nyeri tekan dan spasme. Penyakit ini sering disertai oleh hilangnya rasa nyeri secara dramatis untuk sementara.
Penegakan Diagnosis apendisitis seringkali rumit dikarenakan banyak juga gangguan lain yang memberikan gejala klinis abdomen akut yang harus dibedakan dari apendisitis akut. Kesukaran penegakan diagnosis juga timbul karena beberapa individu (terutama bayi dan orang tua) menyimpang dari gambaran klasik. Bila diagnosis masih meragukan, maka lebih baik dilakukan pembedahan karena operasi apendisitis yang ditangguhkan dapat menyebabkan terjadinya ruptur apendiks dan peritonitis. Perawatan di rumah sakit menjadi lebih lama dan beberapa penderita dapat meninggal akibat peritonitis

Terapi
Setelah diagnosis apendisitis ditegakkan, maka pasien dipersiapkan untuk menjalani pembedahan, dan apendiks segera dibuang setiap saat, siang maupun malam. Bila pembedahan dilakukan sebelum terjadi ruptur dan tanda peritonitis, perjalanan pascabedah umumnya tanpa disertai penyulit. Pemberian antibiotik biasanya diindikasikan. Waktu pemulangan pasien bergantung pada seberapa dini penegakan diagnosis apendisitis, derajat inflamasi, dan penggunaan metode bedah terbuka atau laparoskopi.


Sumber: Price,Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2012. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. Jakarta: EGC.

Jumat, 21 Maret 2014

Macam-Macam Penyakit Yang Menyebabkan Penurunan Berat Badan

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan penambahan berat badan maupun penurunan berat badan. Penambahan berat badan berlebih memang dapat mengakibatkan berbagai komplikasi ringan hingga serius, namun bagi penurunan berat badan yang cukup banyak tanpa ada alasan yang jelas bukan berarti sebaliknya, melainkan hal inilah yang harus di waspadai. Mekanisme terjadinya penurunan berat yang bersifat patologik mencakup penurunan asupan makanan, peningkatan laju metabolisme dan kehilangan kalori dalam urin atau tinja yang hampir semua ini bisa bekerja  sendirian atau bersama-sama. Hampir setiap keadaan sakit yang serius dapat menyebabkan penurunan berat badan lewat efek langsung yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut atau dengan menimbulkan malaise dan depresi. Tanda yang menyebabkan penurunan selera dan hilangnya jaringan terakselerasi tidak dikenal. Keseimbangan nitrogen yang negatif setelah terjadinya trauma , pembedahan atau sakit yang membawa keadaan stres cenderung diperantarai oleh glukagon dan hormon katabolik lainnya. Molekul kandidat tambahan untuk penyakit senyawa-senyawa sitokin yang menginduksi penurunan berat seperti faktor nekrosis tumor (cachectin) dan adipsin, tetapi bukti keterlibatannya tidak cukup.

Beberapa kategori penyakit perlu dipertimbangkan ketika penurunan berat terjadi secara mencolok:

->  Diabetes Melitus
Menurut WHO tahun 1999, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolism karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defesiensi produksi insul in oleh sel -sel beta Langerhans kelenjar pancreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.
Diabetes melitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolik yang dikarakteristikkan oleh tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin, atau kombinasi keduanya. Diabetes Melitus mempunyai dua tipe utama yaitu DM Tipe 1 (DMT1) yang tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM) dan DM tipe 2 (DMT2) tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus/NIDDM). Penurunan berat yang inisial bersamaan dengan dimulainya penyakit diabetes terutama disebabkan oleh diuresis osmotik karena hiperglikemia. Selanjutnya, kehilangan massa jaringan terjadi pada diabetes melitus tergantung insulin (DMT1) sebagai dari pemborosan energi (konsekuensi dari glukosuria) dan abnormalitas hormonal yang menandai penyakit tersebut. Defisiensi insulin dan kelebihan glukagon mengakibatkan terganggunya sintesis protein serta lemak dan sekaligusa mempercepat proteolisis serta lipolisis yang terjadi sedemikian rupa sehingga keadaan energi netto bersifat katabolik. Penurunan berat badan pada diabetes sering disertai dengan peningkatan asupan makanan.

->  Penyakit endokrin
Salah satu dari penyakit endokrin, yaitu Hipertiroidisme. Didalam Jurnal Pengelolaan dan Pengobatan Hipertiroidi, Guntur Hermawan menjelaskan bahwa Hipertiroidi (Penyakit Graves, PG) atau juga disebut tirotoksikosis adalah suatu keadaan akibat peningkatan kadar hormon tiroid bebas dalam darah. Hipertiroidisme biasanya menyebabkan penurunan berat badan dan pasien sering mengkonsumsi diet tinggi karbohidrat. Peningkatan selera makan dan asupan makanan lazim terjadi. Penurunan energi berlangsung dengan jumlah yang sangat besar terutama akibat dari peningkatan laju metabolisme dan aktivitas motorik. Mekanisme terjadinya penurunan berat oleh keadaan thyroxicosis belum dapat dipastikan. Pada binatang mengerat hormon tiroid meningkatkan aktivitas trifosfatadenosin NaK (ATPase) dibanyak jaringan yang menyebabkan siklus penghancuran  dan sintesis ATP gagal dengan hilangnya energi sebagai panas. Gangguan ini tidak tampak bekerja pada manusia. Apapun mekanismenya metabolisme tidak digandakan pada thyrotoxicosis, menerangkan timbulnya panas berlebihan dan hilangnya kalori.
Pada hipotiroidisme apatetik penurunan berat dan kelemahan dapat mendominasi gambaran klinisnya dengan sedikit gejala kegelisahan. Kelainan endokrin lainnya yang menyebabkan penurunan berat adalah feokromositoma dan pelepasan katekolamin merupakan faktor yang menimbulkan penurunan berat ini. Panhipopituitarisme dan insufisiensi adrenal dapat menurunkan berat badan yang terutama disebabkan oleh penurunan selera makan yang terjadi sekunder karena defisiensi kortisol.

->  Penyakit Gastrointestinal
Steatore yang nyata atau yang tidak terlihat sebagai akibat dari penyakit sprue, pankreatitis kronik dan atau kistik fibrosis dapat menimbulkan keadaan atrofi kendati terdapat peningkatan asupan makanan yang besar. Penyakit traktus gastrointestinal lainnya yang menyebabkan penurunan berat badan adalah radang usus, parasit, striktur esofagus, obstruksi sekunder akibat ulkus peptikum yang kronik, anemia pernisiosa dan sirosis hepatik. Mekanisme timbulnya penurunan berat mencakup anoreksia, obstruksi dengan vomitus, malabsorpsi dan efek inflamasi. Masa intraabdominal (splenomegali masif) bekerja dengan menekan lambung semetara turunnya berat badan pada gagal jantung disebabkan oleh kongesti viseral.

->  Infeksi
Infeksi yang yang tersembunyi harus selalu dicari pada penurunan berat badan yang penyebabnya tidak dapat diketahui. Penyakit tuberkulosis, infeksi fungus, abses amoeba dan endokarditis bakterialis subakut harus diletakan pada puncak daftar penyakit yang dicurigai. Infeksi oleh HIV harus dipertimbangkan khususnya pada kelompok-kelompok populasi berisiko tinggi (laki-laki homosexualitas, obat-obat intravena, resipien transfusi multipel). Penurunan berat yang terjadi bersama dengan infeksi kemungkinan disebabkan oleh senyawa sitokin inflamatorik.

->  Malignitas
Kelainan malignitas yang tidak terlihat (okulta) mungkin merupakan penyebab penurunan berat yang paling sering ditemukan tanpa adanya keluhan dan gejala utama. Pada penyelidikan untuk keganasan penekanan utama harus ditempatkan pada traktus gastrointestinal, pankreas dan hati. Limfoma dan leukimia juga harus dipikirkan. Meskipun kelainan malignitas yang asimptomatik (kecuali penurunan berat badan) dapat terjadi pada setiap organ tubuh, namun traktus gastrointestinal merupakan lokasi yang paling sering. Mekanisme penurunan berat pada penyakit kanker bervariasi dan kerap kali lebih dari 1 faktor yang berperan dalam terjadinya mekanisme ini. Anoreksia biasanya dijumpai tetapi peningkatan metabolisme juga memegang peranan, khususnya pada jenis-jenis limfoma dan leukimia.

->  Kelainan Psikiatrik
Penyakit psikiatrik klasik yang menyertai penurunan berat yang mencolok adalah anoreksia nervosa. Kelainan konversi, skizofrenia, dan depresi dapat pula mengurangi asupan makanan. Pada pemeriksaan manula yang berat badannya menurun, keadaan depresi merupakan penyebab berat yang ditemukan sama seringnya dengan penyakit kanker.

->  Penyakit Renal
Salah satu manifestasi paling awal pada keadaan uremia adalah anoreksia. Sebagai konsekuensi semua pasien dengan turunnya berat badan yang tidak dapat dijelaskan harus dilakukan tes skrining fungsi ginjal.


Sumber :
Isselbacher,dkk. 1999. Harrison PRINSIP-PRINSIP ILMU PENYAKIT DALAM Ed.13 Volume 1. Jakarta: EGC.
Hermawan, A. Guntur. 1990. Jurnal Pengelolaan dan Pengobatan Hipertiroiditi. Surabaya: Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Walukow, Wulan Grace. Jurnal Gambaran Xerostomia pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP. Prof dr. R. D. Kandou Manado. Manado: Universitas Sam Ratulangi.

Kamis, 13 Maret 2014

Definisi, Etiologi, dan Klasifikasi Syok (Renjatan)

Secara patofisiologis syok merupakan gangguan hemodinamik yang menyebabkan tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sistemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Gangguan faktor-faktor tersebut disebabkan oleh bermacam-macam proses baik primer pada sistim kardiovaskuler, neurologis ataupun imunologis. Diantara berbagai penyebab syok tersebut, penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor penyebab utama. Terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler dapat terjadi akibat perdarahan atau dehidrasi berat, sehingga menyebabkan yang balik ke jantung berkurang dan curah jantung pun menurun. Penurunan hebat curah jantung menyebabkan hantaran oksigen dan perfusi jaringan tidak optimal dan akhirnya menyebabkan syok.

Klasifikasi
Syok dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
a.  Syok Oligemik, disebabkan oleh perdarahan atau kehilangan cairan yang banyak (bisa diakibatkan oleh muntah, diare, luka bakar atau dehidrasi) yang menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat seperti penurunan preload berat yang direfleksikan pada penurunan volume dan tekanan akhir diastol ventrikel kanan dan kiri.
b.  Syok Obstruktif Ekstrakardiak disebabkan oleh ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole, sehingga menurunkan volume sekuncup (stroke volume) dan curah jantung akhir.
c.      Syok Kardiogenik, disebabkan oleh depresi berat kerja jantung sistolik.
d.      Syok Distributif,

Etiologi
Syok dapat disebabkan oleh berbagai kondisi yang mengurangi aliran darah, termasuk:
ü  Masalah jantung (seperti Penyakit Jantung Koroner atau Gagal Jantung)
ü  Menurunnya volume darah (oleh karena perdarahan hebat atau dehidrasi)
ü  Perubahan yang terjadi didalam pembuluh darah (seperti infeksi atau reaksi alergik)
ü  Beberapa obat-obatan yang memungkinkan mengurangi fungsi jantung atau tekanan darah.


Mekanisme syok yang disebabkan oleh dehidrasi yang berupa bibir, lidah dan kulit kering serta turgor kulit menurun, yang mungkin disebabkan juga oleh muntah lebih dari 10 kali sehari sehingga cairan didalam tubuh pasien berkurang cukup banyak yang dapat menyebabkan syok.

Pada dehidrasi yang terjadi ini, menyebabkan penurunannya volume darah sehingga terjadinya penurunan aliran balik vena ke jantung, akibatnya curah jantung menurun dan menyebabkan penurunan perfusi jaringan. Akibat dari curah jantung yang menurun, terjadinya juga penurunan tekanan darah. Bila hal ini terjadi cukup lama, akan menyebabkan kerusakan pada sel yang berakibat dengan kematian sel. Apabila semakin banyak sel yang mati, hal ini akan cepat berlangsung menjadi gagal organ dan lama-kelamaan bisa menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, syok atau renjatan ini harus ditangani sesegera mungkin dan bersifat gawat darurat.

Sumber:
Arvin,Benheman Kliegma. 2000. Nelson Llmu Kesehatan Anak Ed.15 Vol.3. Jakarta: EGC.
Isselbacher,dkk. 1999. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed.13 Vol.1. Jakarta: EGC.

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC.